Keris, dari jaman dahulu hingga sekarang telah menjadi suatu benda yang menarik untuk dimiliki sebagai benda koleksi, dipandang sebagai suatu bentuk karya seni dan spiritual yang sangat indah maupun diperbincangkan dari berbagai aspek. Bukan saja pada aspek fisik maupun non fisik, tetapi juga aspek sejarah dan evolusi perkembangannya.
Sebut saja beberapa keris yang hingga sekarang selalu diperdebatkan seperti keris buatan Mpu Gandring dari jaman Singosari yang terus menjadi perdebatan hingga saat ini tanpa pernah terbukti keberadaannya kecuali ditinjau dari aspek filosofi sejarah, Legenda keris Condong Campur jaman Majapahit, asal muasal keris Tamingsari dan banyak lagi. Semua itu ternyata makin memperkaya khazanah budaya perkerisan, baik di Tanah Air maupun di manca negara. Tentu kita patut bersyukur atas adanya berbagai macam perdebatan itu, dan bukankah perbedaan pandangan sesungguhnya adalah suatu karunia dari Tuhan Yang Maha Esa ?
Di Indonesia, khususnya Jawa, Sumatera dan Bugis serta Bali, telah mengenal keris sejak jaman Kabudhaan. Perkembangan ilmu pembuatan keris, ilmu penerapan pamor sampai pada pemahaman terhadap makna filosofi keris kian tahun kian berkembang maju, sampai pada masa Kerajaan Singosari sampai Mataram Sultan Agung, bahkan sampai sekarang, keris telah diposisikan sebagai suatu benda multi fungsi dan multi makna. Kadang kita temui keris yang dianggap sebagai “Sikep” atau “Piyandel”, ada pula keris yang digunakan sebagai “Senjata Pamungkas” saat peperangan, keris juga bisa digunakan sebagai “Sengkalan” atau pertanda atas suatu kejadian penting, serta berbagai fungsi keris lainnya yang tentu sangat banyak.
Dalam budaya Jawa tradisional, keris tidak semata-mata dianggap sebagai senjata tikam yang memiliki keunikan bentuk maupun keindahan pamor, akan tetapi juga sebagai kelengkapan budaya spiritual. Ada satu anggapan yang berlaku di kalangan Jawa tradisional yang mengatakan, seseorang baru bisa dianggap paripurna jika ia sudah memiliki lima unsur simbolik: curiga, turangga, wisma, wanita, kukila.
Curiga, secara harafiah artinya keris, turangga artinya kuda atau kendaraan (simbol masa kini adalah motor atau mobil), wisma adalah rumah, wanita arti khususnya isteri, dan kukila arti harafiahnya adalah burung. Arti simbolik burung di sini, bagi seorang pria Jawa tradisional, ia harus mampu mengolah, menangkap dan menikmati keindahan serta berolah-seni. Curiga, atau keris, secara simbolik maksudnya adalah kedewasaan, keperkasaan dan kejantanan. Seorang pria Jawa tradisional, harus tangguh dan mampu melindungi diri, keluarga atau membela negara. Perlambangnya adalah keris.
Pada zaman kerajaan-kerajaan di masa lalu, tanda mata paling tinggi nilainya adalah keris. Pemberian paling berharga dari seorang Raja Jawa kepada para perwiranya atau abdi dalem, adalah keris. Pada perkembangannya, keris di lingkungan kerajaan bisa menjadi simbol kepangkatan. Keris seorang Raja, tentu saja berbeda dengan keris perwira atau abdi dalem bawahannya. Tidak hanya bilah kerisnya saja yang berbeda, akan tetapi juga detil-detil perhiasan serta perabot yang melengkapinya pun berbeda. Gradasi kepangkatan dari pemilik keris, juga bisa ditilik dari warangka yang menyarungi atau membungkus bilah keris. Warangka seorang Raja, tentu saja berbeda dengan warangka bawahannya. Bila seorang ksatria, tepat kiranya bila warangka yang dipakainya adalah warangka dengan wanda (model) kasatriyan. Pejabat kerajaan, memakai warangka kadipaten. Ada lebih dari 25 varian warangka Jawa di masa lalu yang bisa menjadi indikator kepangkatan pemiliknya. Bahkan daerah asal pun bisa ditilik dari warangkanya, apakah pemiliknya orang dari Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, Jawa Timur, Madura atau Bali.
Salah satu keunikan keris adalah kekuatannya pada detil. Hampir setiap detil yang melekat pada keris, baik pada bilahnya, warangka maupun perabotnya semuanya bisa menjadi simbol. Dari ukiran atau pegangan keris pun, pada masa lalu orang bisa menilik derajat dan kepangkatan. Varian ukiran keris Jawa pun, seperti halnya warangka, ada berbagai macam varian. Dibagi dalam dua garis besar gaya: Surakarta dan Yogyakarta. Di luar itu, tentu masih ada lagi gaya lain warangka atau ukiran luar Jawa seperti: Madura, Bali, Lombok, Sulawesi, Sumatera.
Di lingkungan keraton Surakarta masa lalu, misalnya, ukiran tunggak semi gaya Paku Buwono atau Yudowinatan, hanya boleh dipakai oleh seorang Raja. Pendhok (selongsong logam pada bungkus bilah) dengan warna kemalo (sejenis cat tradisional berwarna merah, hijau, coklat dan hitam), dulu dimaksudkan untuk membedakan derajat dan kepangkatan penyandangnya. Kemalo warna merah, misalnya, khusus untuk Raja dan kerabatnya, atau bangsawan dengan pangkat serendah-rendahnya Bupati. Kemalo warna hijau, untuk para mantri (menteri, perwira pembantu Raja). Pendhok kemalo warna coklat, untuk para bekel atau administratur menengah kebawah. Sedangkan pendhok hitam, untuk para abdi dalem, atau rakyat jelata. Ada kalanya seseorang mendapatkan penghargaan dari seorang pejabat atau penguasa karena jasa-jasanya, dalam wujud sebilah keris dengan hiasan tertentu. Salah satu contoh klasik, adalah keris dengan ganja kinatah emas dengan relief Gajah-Singa, dulu dihadiahkan oleh Raja Mataram Sultan Agung kepada para perwiranya yang berhasil menumpas Pemberontakan Pragola, Kadipaten Pati di Jawa Tengah pesisir utara.
Bila dijabarkan dalam kalimat, gambar kinatah pemberian Sultan Agung itu berbunyi: Gajah Singa Keris Siji. Gajah itu 8, Singa 5, Keris 5, Siji 1. Jika dibaca dari belakang, berbunyi angka tahun Jawa 1558, yaitu tahun kemenangan Sultan Agung (Mataram) atau Kadipaten Pati. Selain tanda penghargaan, keris yang diberi hiasan kinatah emas di bagian ganjanya, pada masa lalu juga dimaksudkan untuk menjadi peringatan waktu, tahun, yang tentunya dalam hitungan Tahun Jawa. Dalam khasanah budaya Jawa tradisional, disebut sebagai candra sengkala atau sengkalan. Gambar atau wujud benda, binatang, tumbuhan yang dikinatahkan juga bisa diartikan sebagai kronogram untuk menunjuk angka tahun.
Pada masa lalu, keris juga dipakai sebagai simbol identitas diri, entah itu diri pribadi, keluarga atau bahkan klan. Keris dengan dhapur (model), pamor (damascene) ataupun asesori tertentu, merupakan ciri khas milik pribadi, keluarga atau klan tertentu yang mempunyai kelebihan kepribadian atau karakter dalam masyarakat luas.
Dhapur Carubuk, dengan pamor pandita abala pandita, misalnya, dulu biasa dipakai oleh para Brahmana atau rohaniwan. Sedangkan dhapur Sengkelat pamor blarak ngirit, untuk para Raja atau penguasa. Keris juga bisa berfungsi sebagai pertanda atribut utusan Raja, atau Duta Besar Raja. Apabila seseorang mendapat tugas dari Raja, semisal untuk mewakili Raja pada suatu acara penting menyangkut tugas kenegaraan yang mengandung risiko, maka kepada orang tersebut Raja meminjamkan sebuah keris pusaka milik sang Raja yang ‘bobot spiritual’nya sepadan dengan bobot tugas yang diembankan. Dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa tradisional, keris pada lalu juga berfungsi seremonial, menjadi lambang persaudaraan, persahabatan, perkawinan. Sudah menjadi kelaziman dalam hubungan pergaulan dengan orang lain, atau keluarga satu dengan keluarga lain, mereka mengikat tali persahabatan dengan bertukar tanda mata. Salah satu simbol persaudaraan atau persahabatan, dulu biasa ditandai dengan tukar-menukar keris. Bentuk persahabatan yang memakai simbol seperti ini, dulu dianggap sebagai bentuk hubungan erat dengan tingkat etika yang tinggi.
Dalam upacara perkawinan adat Jawa tradisional, apabila seorang calon mempelai laki-laki berhalangan datang, misalnya saja sedang mendapat tugas negara di tempat jauh dan tidak mungkin bisa menghadiri upacara, ia bisa “diwakili” secara simbolis dengan sebilah keris pusaka milik mempelai lelaki. Dalam upacara perkawinan itu, keris mempelai lelaki diperlakukan seperti layaknya calon mempelai lelaki sendiri, didudukkan bersanding mempelai wanita di pelaminan. Bagi masyarakat Jawa tradisional, upacara perkawinan seperti itu sudah dianggap sah, meski mempelai lelaki secara fisik tidak hadir dalam upacara, dan hanya “diwakili” sebilah keris pusakanya. Masih dalam lingkup seremonial perkawinan. Apabila mempelai lelaki menjalani upacara sungkeman (menghormati orang tua, dengan berlutut menyembah orang tua), keris yang disandang oleh mempelai lelaki harus dilepas lebih dahulu. Hal ini maksudnya, orang tua sehebat apapun, tidak boleh disembah oleh seorang menantu yang sedang menyandang keris pusaka. Karena, dalam anggapan orang Jawa tradisional, keris dianggap lebih tua dari orang tua yang di-sungkemi. Bahkan keris lebih tua dari siapapun yang hadir dalam acara perkawinan tersebut. Dalam makna mistiknya orang Jawa kuno, dimaksudkan agar orang tua tersebut tidak kuwalat (kena akibat buruk karena tindakan tidak hormat) terhadap keris mempelai lelaki. Dalam hubungan keluarga, antara orang tua dan anak, tali persaudaraan ini juga ditandai dengan pemberian hadiah yang dalam khasanah budaya Jawa disebut sebagai kancing gelung, atau cundhuk ukel. Perwujudannya adalah sebuah keris, lengkap dengan perabotnya yang diberikan orang tua kepada anak perempuannya yang baru saja menikah. Maksudnya agar pemeliharaan keris tersebut kelak menjadi tanggung jawab suaminya. Sebuah arti simbolis pula untuk penyerahan anak perempuannya, agar dipelihara dan dihidupi oleh suami yang menikahinya. Selain makna-makna duniawi di atas, keris dalam kehidupan Jawa tradisional juga memiliki makna spiritual: sebagai manifestasi falsafah, wasiat atau pusaka. Dalam lingkup dunia mistik, sebagai azimat, medium komunikasi serta tempat bersemayamnya roh atau “yoni”. Hal terakhir ini, meskipun merupakan paham kuno, namun masih banyak orang Jawa modern saat ini yang mempraktekkannya.
Dari perkembangan tersebut akhirnya memunculkan berbagai ilmu pengetahuan terhadap keris, seperti ilmu yang mempelajari besi, ilmu yang mempelajari pamor, Penangguhan atau penentuan atas perkiraan jaman pembuatan sampai pada ilmu mengenai sandangan keris atau wrangka. Kesemua sesungguhnya telah membentuk suatu budaya yang multi dimensi dan kompleks. Dengan semakin banyaknya pandangan terhadap keris tersebut, tentu pada akhirnya akan melahirkan suatu perdebatan. Dan ini sangat wajar.
Jangankan kita membicarakan mengenai aspek non fisik yang tersamar, tentang fisik keris yang sangat nyata seperti bahan besi, bahan dan bentuk pamor saja juga masih membingungkan kita dan menjadi perdebatan yang kadang berakhir kurang menyenangkan. Katakanlah seperti pamor Raja Abala Raja – Ujung Gunung – Junjung Drajad dan Mancungan, sudah memunculkan banyak perbedaan penyebutan. Lalu apalagi ketika kita membicarakan aspek non fisik seperti sejarah dan tangguh keris dan siapa yang membuat keris yang kita miliki, padahal kita tidak pernah hidup pada jaman tersebut serta menimbang sangat samarnya literatur yang membahas mengenai hal tersebut.
Bagi saya pribadi, perbedaan pandangan tersebut, selama ditempatkan pada kerangka berfikir logis dan santun serta dilandasi keikhlasan menerima kelebihan dan kekurangan atas diri pribadi dan orang lain, adalah suatu bukti adanya Rahmat dari Tuhan yang tiada terhingga.
Sebut saja beberapa keris yang hingga sekarang selalu diperdebatkan seperti keris buatan Mpu Gandring dari jaman Singosari yang terus menjadi perdebatan hingga saat ini tanpa pernah terbukti keberadaannya kecuali ditinjau dari aspek filosofi sejarah, Legenda keris Condong Campur jaman Majapahit, asal muasal keris Tamingsari dan banyak lagi. Semua itu ternyata makin memperkaya khazanah budaya perkerisan, baik di Tanah Air maupun di manca negara. Tentu kita patut bersyukur atas adanya berbagai macam perdebatan itu, dan bukankah perbedaan pandangan sesungguhnya adalah suatu karunia dari Tuhan Yang Maha Esa ?
Di Indonesia, khususnya Jawa, Sumatera dan Bugis serta Bali, telah mengenal keris sejak jaman Kabudhaan. Perkembangan ilmu pembuatan keris, ilmu penerapan pamor sampai pada pemahaman terhadap makna filosofi keris kian tahun kian berkembang maju, sampai pada masa Kerajaan Singosari sampai Mataram Sultan Agung, bahkan sampai sekarang, keris telah diposisikan sebagai suatu benda multi fungsi dan multi makna. Kadang kita temui keris yang dianggap sebagai “Sikep” atau “Piyandel”, ada pula keris yang digunakan sebagai “Senjata Pamungkas” saat peperangan, keris juga bisa digunakan sebagai “Sengkalan” atau pertanda atas suatu kejadian penting, serta berbagai fungsi keris lainnya yang tentu sangat banyak.
Dalam budaya Jawa tradisional, keris tidak semata-mata dianggap sebagai senjata tikam yang memiliki keunikan bentuk maupun keindahan pamor, akan tetapi juga sebagai kelengkapan budaya spiritual. Ada satu anggapan yang berlaku di kalangan Jawa tradisional yang mengatakan, seseorang baru bisa dianggap paripurna jika ia sudah memiliki lima unsur simbolik: curiga, turangga, wisma, wanita, kukila.
Curiga, secara harafiah artinya keris, turangga artinya kuda atau kendaraan (simbol masa kini adalah motor atau mobil), wisma adalah rumah, wanita arti khususnya isteri, dan kukila arti harafiahnya adalah burung. Arti simbolik burung di sini, bagi seorang pria Jawa tradisional, ia harus mampu mengolah, menangkap dan menikmati keindahan serta berolah-seni. Curiga, atau keris, secara simbolik maksudnya adalah kedewasaan, keperkasaan dan kejantanan. Seorang pria Jawa tradisional, harus tangguh dan mampu melindungi diri, keluarga atau membela negara. Perlambangnya adalah keris.
Pada zaman kerajaan-kerajaan di masa lalu, tanda mata paling tinggi nilainya adalah keris. Pemberian paling berharga dari seorang Raja Jawa kepada para perwiranya atau abdi dalem, adalah keris. Pada perkembangannya, keris di lingkungan kerajaan bisa menjadi simbol kepangkatan. Keris seorang Raja, tentu saja berbeda dengan keris perwira atau abdi dalem bawahannya. Tidak hanya bilah kerisnya saja yang berbeda, akan tetapi juga detil-detil perhiasan serta perabot yang melengkapinya pun berbeda. Gradasi kepangkatan dari pemilik keris, juga bisa ditilik dari warangka yang menyarungi atau membungkus bilah keris. Warangka seorang Raja, tentu saja berbeda dengan warangka bawahannya. Bila seorang ksatria, tepat kiranya bila warangka yang dipakainya adalah warangka dengan wanda (model) kasatriyan. Pejabat kerajaan, memakai warangka kadipaten. Ada lebih dari 25 varian warangka Jawa di masa lalu yang bisa menjadi indikator kepangkatan pemiliknya. Bahkan daerah asal pun bisa ditilik dari warangkanya, apakah pemiliknya orang dari Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, Jawa Timur, Madura atau Bali.
Salah satu keunikan keris adalah kekuatannya pada detil. Hampir setiap detil yang melekat pada keris, baik pada bilahnya, warangka maupun perabotnya semuanya bisa menjadi simbol. Dari ukiran atau pegangan keris pun, pada masa lalu orang bisa menilik derajat dan kepangkatan. Varian ukiran keris Jawa pun, seperti halnya warangka, ada berbagai macam varian. Dibagi dalam dua garis besar gaya: Surakarta dan Yogyakarta. Di luar itu, tentu masih ada lagi gaya lain warangka atau ukiran luar Jawa seperti: Madura, Bali, Lombok, Sulawesi, Sumatera.
Di lingkungan keraton Surakarta masa lalu, misalnya, ukiran tunggak semi gaya Paku Buwono atau Yudowinatan, hanya boleh dipakai oleh seorang Raja. Pendhok (selongsong logam pada bungkus bilah) dengan warna kemalo (sejenis cat tradisional berwarna merah, hijau, coklat dan hitam), dulu dimaksudkan untuk membedakan derajat dan kepangkatan penyandangnya. Kemalo warna merah, misalnya, khusus untuk Raja dan kerabatnya, atau bangsawan dengan pangkat serendah-rendahnya Bupati. Kemalo warna hijau, untuk para mantri (menteri, perwira pembantu Raja). Pendhok kemalo warna coklat, untuk para bekel atau administratur menengah kebawah. Sedangkan pendhok hitam, untuk para abdi dalem, atau rakyat jelata. Ada kalanya seseorang mendapatkan penghargaan dari seorang pejabat atau penguasa karena jasa-jasanya, dalam wujud sebilah keris dengan hiasan tertentu. Salah satu contoh klasik, adalah keris dengan ganja kinatah emas dengan relief Gajah-Singa, dulu dihadiahkan oleh Raja Mataram Sultan Agung kepada para perwiranya yang berhasil menumpas Pemberontakan Pragola, Kadipaten Pati di Jawa Tengah pesisir utara.
Bila dijabarkan dalam kalimat, gambar kinatah pemberian Sultan Agung itu berbunyi: Gajah Singa Keris Siji. Gajah itu 8, Singa 5, Keris 5, Siji 1. Jika dibaca dari belakang, berbunyi angka tahun Jawa 1558, yaitu tahun kemenangan Sultan Agung (Mataram) atau Kadipaten Pati. Selain tanda penghargaan, keris yang diberi hiasan kinatah emas di bagian ganjanya, pada masa lalu juga dimaksudkan untuk menjadi peringatan waktu, tahun, yang tentunya dalam hitungan Tahun Jawa. Dalam khasanah budaya Jawa tradisional, disebut sebagai candra sengkala atau sengkalan. Gambar atau wujud benda, binatang, tumbuhan yang dikinatahkan juga bisa diartikan sebagai kronogram untuk menunjuk angka tahun.
Pada masa lalu, keris juga dipakai sebagai simbol identitas diri, entah itu diri pribadi, keluarga atau bahkan klan. Keris dengan dhapur (model), pamor (damascene) ataupun asesori tertentu, merupakan ciri khas milik pribadi, keluarga atau klan tertentu yang mempunyai kelebihan kepribadian atau karakter dalam masyarakat luas.
Dhapur Carubuk, dengan pamor pandita abala pandita, misalnya, dulu biasa dipakai oleh para Brahmana atau rohaniwan. Sedangkan dhapur Sengkelat pamor blarak ngirit, untuk para Raja atau penguasa. Keris juga bisa berfungsi sebagai pertanda atribut utusan Raja, atau Duta Besar Raja. Apabila seseorang mendapat tugas dari Raja, semisal untuk mewakili Raja pada suatu acara penting menyangkut tugas kenegaraan yang mengandung risiko, maka kepada orang tersebut Raja meminjamkan sebuah keris pusaka milik sang Raja yang ‘bobot spiritual’nya sepadan dengan bobot tugas yang diembankan. Dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa tradisional, keris pada lalu juga berfungsi seremonial, menjadi lambang persaudaraan, persahabatan, perkawinan. Sudah menjadi kelaziman dalam hubungan pergaulan dengan orang lain, atau keluarga satu dengan keluarga lain, mereka mengikat tali persahabatan dengan bertukar tanda mata. Salah satu simbol persaudaraan atau persahabatan, dulu biasa ditandai dengan tukar-menukar keris. Bentuk persahabatan yang memakai simbol seperti ini, dulu dianggap sebagai bentuk hubungan erat dengan tingkat etika yang tinggi.
Dalam upacara perkawinan adat Jawa tradisional, apabila seorang calon mempelai laki-laki berhalangan datang, misalnya saja sedang mendapat tugas negara di tempat jauh dan tidak mungkin bisa menghadiri upacara, ia bisa “diwakili” secara simbolis dengan sebilah keris pusaka milik mempelai lelaki. Dalam upacara perkawinan itu, keris mempelai lelaki diperlakukan seperti layaknya calon mempelai lelaki sendiri, didudukkan bersanding mempelai wanita di pelaminan. Bagi masyarakat Jawa tradisional, upacara perkawinan seperti itu sudah dianggap sah, meski mempelai lelaki secara fisik tidak hadir dalam upacara, dan hanya “diwakili” sebilah keris pusakanya. Masih dalam lingkup seremonial perkawinan. Apabila mempelai lelaki menjalani upacara sungkeman (menghormati orang tua, dengan berlutut menyembah orang tua), keris yang disandang oleh mempelai lelaki harus dilepas lebih dahulu. Hal ini maksudnya, orang tua sehebat apapun, tidak boleh disembah oleh seorang menantu yang sedang menyandang keris pusaka. Karena, dalam anggapan orang Jawa tradisional, keris dianggap lebih tua dari orang tua yang di-sungkemi. Bahkan keris lebih tua dari siapapun yang hadir dalam acara perkawinan tersebut. Dalam makna mistiknya orang Jawa kuno, dimaksudkan agar orang tua tersebut tidak kuwalat (kena akibat buruk karena tindakan tidak hormat) terhadap keris mempelai lelaki. Dalam hubungan keluarga, antara orang tua dan anak, tali persaudaraan ini juga ditandai dengan pemberian hadiah yang dalam khasanah budaya Jawa disebut sebagai kancing gelung, atau cundhuk ukel. Perwujudannya adalah sebuah keris, lengkap dengan perabotnya yang diberikan orang tua kepada anak perempuannya yang baru saja menikah. Maksudnya agar pemeliharaan keris tersebut kelak menjadi tanggung jawab suaminya. Sebuah arti simbolis pula untuk penyerahan anak perempuannya, agar dipelihara dan dihidupi oleh suami yang menikahinya. Selain makna-makna duniawi di atas, keris dalam kehidupan Jawa tradisional juga memiliki makna spiritual: sebagai manifestasi falsafah, wasiat atau pusaka. Dalam lingkup dunia mistik, sebagai azimat, medium komunikasi serta tempat bersemayamnya roh atau “yoni”. Hal terakhir ini, meskipun merupakan paham kuno, namun masih banyak orang Jawa modern saat ini yang mempraktekkannya.
Dari perkembangan tersebut akhirnya memunculkan berbagai ilmu pengetahuan terhadap keris, seperti ilmu yang mempelajari besi, ilmu yang mempelajari pamor, Penangguhan atau penentuan atas perkiraan jaman pembuatan sampai pada ilmu mengenai sandangan keris atau wrangka. Kesemua sesungguhnya telah membentuk suatu budaya yang multi dimensi dan kompleks. Dengan semakin banyaknya pandangan terhadap keris tersebut, tentu pada akhirnya akan melahirkan suatu perdebatan. Dan ini sangat wajar.
Jangankan kita membicarakan mengenai aspek non fisik yang tersamar, tentang fisik keris yang sangat nyata seperti bahan besi, bahan dan bentuk pamor saja juga masih membingungkan kita dan menjadi perdebatan yang kadang berakhir kurang menyenangkan. Katakanlah seperti pamor Raja Abala Raja – Ujung Gunung – Junjung Drajad dan Mancungan, sudah memunculkan banyak perbedaan penyebutan. Lalu apalagi ketika kita membicarakan aspek non fisik seperti sejarah dan tangguh keris dan siapa yang membuat keris yang kita miliki, padahal kita tidak pernah hidup pada jaman tersebut serta menimbang sangat samarnya literatur yang membahas mengenai hal tersebut.
Bagi saya pribadi, perbedaan pandangan tersebut, selama ditempatkan pada kerangka berfikir logis dan santun serta dilandasi keikhlasan menerima kelebihan dan kekurangan atas diri pribadi dan orang lain, adalah suatu bukti adanya Rahmat dari Tuhan yang tiada terhingga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar